ungkapan untuk merespon tanda-tanda yang ada di sekitar alam nyata dan pikiran, menyajikannya secara tidak jujur dengan menyembunyikan makna sebenarnya dari kata-kata.
Selasa, 22 Maret 2011
the best fantasy novel: PERCY JACSON
“alur cerita yang tak terduga, dibumbui pertualangan gila2an para
anak2 Dewa... menghidupkan imajinasi sampai sudut terkecil dalam pikiran”
Percy Jacson, Pokoknya gak akan nyesal beli buku ini, aq beli buku ini kira2 setahun yang lalu, mulai dari lighning thief dst-nya, sebelumnya sih aku sudah nonton filmnya yang menurutku lumayan, jadi gak begitu semangat baca novelnya, trus setelah bolak-balik halaman, ternyata novel PJ sangat imajinatif, buat imajinasi kita terjun bebas, kalau dibandingin dengan filmnya…. Kalah jauh pokoknya, ceritanya juga lebih lengkap dan mendetail sampai-sampai membuat kita terbawa untuk mencoba merasakan (mengkhayal) kejadian-kejadian di dalam ceritanya. Setelah habis satu buku dijamin langsung penasaran pengen lanjut ke buku berikutnya… Ke-5 serinya AJIB
Percy Jackson adalah seorang pemuda berusia dua belas tahun, penderita disleksia, dan hampir dikeluarkan dari sekolah asramanya.Suatu hari dia diberitahu bahwa dia adalah putra dewa Poseidon. Sejak itu dia harus menghadapi petualangan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Percy harus melawan berbagai monster dan bertemu dewa-dewi dari gunung Olympus yang ternyata masih ada di masa modern. Selain itu, petir milik dewa Zeus telah dicuri dan Percy adalah tersangka utamanya. Percy dan dua orang kawannya hanya punya waktu sepuluh hari untuk mencari dan mengembalikan benda keramat tersebut dan mencegah perang yang hampir pecah di Gunung Olimpus. Secara keseluruhan novel ini layak dibaca untuk penggemar novel fiksi ilmiah, khususnya mitologi yunani.
Setelah menghabiskan musim panas mencari petir milik Dewa Zeus, Percy Jackson ternyata belum bisa menikmati ketenangan. Kali ini dia kewalahan menghadapi teman barunya, Tyson, anak tunawisma berbadan besar dengan tingkah seperti anak kecil yang selalu mengikuti Percy ke mana pun dia pergi. Tiba-tiba Annabeth datang membawa kabar buruk: Perkemahan Setengah Dewa-satu-satunya tempat perlindungan bagi anak-anak setengah dewa—terancam dikuasai oleh para monster. Selain itu, sebuah pesan mimpi juga datang pada Percy yang menyiratkan bahwa sahabatnya, Grover, sedang berada dalam bahaya.
Untuk menyelamatkan Perkemahan Setengah Dewa, dan menemukan sahabatnya, Grover, Percy harus mengarungi Lautan Monster, tempat mengerikan yang dihindari oleh pelaut manapun. Dalam perjalanannya kali ini, ramalan yang disimpan rapat-rapat oleh Khiron dan para dewa dari Percy pun perlahan-lahan mulai terkuak.
Minggu, 13 Maret 2011
LUKA YANG MEMPERKAYA
Luka yang Memperkaya
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Hati terluka. Air mata menetes tanpa daya. Hidup terasa begitu sepi. Keluarga dan teman diam tersembunyi.
Itulah situasi batin orang-orang yang tersiksa. Hidup menggiring mereka ke ujung nestapa. Tak ada teman seperjalanan yang menguatkan. Yang ada adalah butir-butir kenangan akan pengkhianatan.
Seorang filsuf kontemporer terkemuka asal Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyatakan, bahwa hidup berasal dari katastrofi, atau bencana besar. Alam semesta bermula dari ledakan besar. Orang lahir ke dunia melalui penderitaan sang ibu. Cinta bukanlah gula kehidupan, namun justru sumber dari rasa sendu.
Maka orang perlu untuk melihat guncangan hidup sebagai bentuk kelahiran dari “yang lain”. Bahkan segala sesuatu yang di sekitar kita sekarang ini bermula dari sebuah bencana raksasa yang menimpa penguasa dunia sebelumnya, yakni dinosaurus. Maka guncangan bukanlah bagian dari kehidupan, melainkan justru kehidupan itu sendiri.
Situasi Batas
Manusia kerap kali terbentur situasi-situasi sulit dalam hidupnya. Situasi sulit ini menurut Karl Jasper, seorang filsuf Jerman, adalah situasi batas, termasuk di dalamnya adalah penderitaan, kematian, rasa bersalah, ketergantungan pada nasib, dan perjuangan di tengah bencana. Situasi batas ini membuat manusia sadar, betapa ia lemah dan tak berdaya. Situasi batas ini mengantarkan manusia pada kesadaran, bahwa Tuhan itu ada.
Dalam hidup kita dikepung oleh krisis tanpa henti. Kematian dari orang yang dicintai. Kehancuran bisnis yang dibangun di atas rencana dan mimpi. Hati yang terluka akibat pengkhianatan orang yang dikasihi. Sampai ditipu sahabat yang dipercaya.
Jasper mengajak kita menjalani semua ini dengan lapang dada. Krisis adalah situasi di mana manusia terbuka pada yang tak terbatas, atau Tuhan itu sendiri. Pada saat krisislah manusia menyadari, betapa ia bukan apa-apa. Krisis adalah pintu pencerahan dan penemuan kesejatian diri yang sesungguhnya.
Luka yang Memperkaya
Para pahlawan adalah mereka yang terluka. Medan perang menempa mereka. Luka tubuh adalah buktinya. Luka adalah simbol dari kepahlawanan yang perkasa.
Hal ini berlaku pula untuk luka mental. Kekecewaan dan penderitaan mental adalah simbol dari kepahlawanan jiwa. Orang perlu menyadari dan merawat luka itu dengan setia. Luka mental tidak boleh dilupakan, melainkan justru diterima dengan lapang dada.
Banyak orang takut akan lukanya. Lalu mereka tenggelam dalam hiburan semu, mulai dari alkohol, seks bebas, dan narkoba. Luka tidak jadi memperkaya, melainkan sesuatu yang berlalu tanpa makna. Buah dari semua itu adalah kedangkalan hidup di dunia.
Luka mental tidak pernah boleh dilupakan. Sayatan batin adalah simbol dari keperkasaan jiwa. Orang perlu melihatnya sebagai koleksi yang membanggakan. Penderitaan dan kekecewaan adalah piala-piala tanda keagungan jiwa.
Kesempatan
Luka adalah kesempatan. Krisis adalah peluang. Keduanya adalah peluang untuk menunjukkan, siapa kita sesungguhnya. Terlebih krisis adalah kesempatan untuk berbuat baik.
Kita seringkali melihat kekecewaan sebagai kerugian. Padahal kekecewaan adalah kesempatan untuk memaafkan. Kekecewaan adalah waktu yang tepat untuk berbuat baik. Kekecewaan adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan.
Ketika bencana alam terjadi, itu adalah kesempatan untuk menolong mereka yang kesulitan. Ketika terjadi pengkhianatan maka itu adalah kesempatan untuk belajar tentang kesetiaan. Ketika terjadi banyak kejahatan, maka itu adalah kesempatan untuk memberi cinta yang menyegarkan.
Krisis juga kesempatan untuk membuktikan diri. Dengan krisis orang ditempa situasi, dan menjadi dirinya yang sejati. Orang hanya perlu bertahan melaluinya, dan semua akan selesai pada akhirnya. Pada saat itu orang merasa puas, karena ia memetik buah-buah dari kesulitan hidupnya.
Banyak orang patah karena krisis. Mereka putus asa lalu bunuh diri. Mereka tidak bertahan di dalam badai. Mereka takluk oleh hidup yang memang tak selalu adil.
Sikap semacam itu tidak bisa disalahkan. Itu juga bagian dari pilihan. Namun sebetulnya itu tidak perlu terjadi. Orang bisa melihat kekecewaan dan penderitaan hidup sebagai kesempatan untuk membuktikan diri, maupun untuk sungguh berbuat baik pada yang membutuhkan.
Absurditas Hidup
Seorang filsuf dan sastrawan Prancis, Albert Camus, pernah menulis, bahwa satu-satunya penjelasan atas banyaknya penderitaan yang tidak beralasan di dunia adalah, bahwa hidup itu pada hakekatnya adalah absurditas. Orang tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka menderita. Orang juga tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka yang tertimpa bencana. Hidup ini absurd karena tak pernah sepenuhnya terpahami.
Yang perlu dilakukan adalah menerima fakta absurditas itu sendiri, dan menjalaninya secara perlahan. Jika tidak orang akan terus terbentur, karena harapan tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Orang akan bermimpi dan kecewa, karena mimpi tetaplah mimpi, tanpa realitas. Rasa putus asa ada di depan mata, juga disertai kecewa dan tangis.
Kita sering melihat betapa orang patah akibat kekecewaan. Kita juga sering melihat, betapa orang hancur, karena ditekan situasi. Namun sebetulnya mereka tidak perlu hancur, jika belajar menerima fakta absurditas hidup dan diri mereka sendiri. Mereka hanya perlu tertawa melihat, betapa hidup telah mempermainkan mereka.
Kekecewaan, penderitaan, dan krisis bukanlah bumbu kehidupan, melainkan justru esensi dari kehidupan itu sendiri. Absurd memang tetapi itulah yang terjadi. Bahkan awal mula alam semesta adalah sebuah katastrofi maha dasyat yang banyak disebut sebagai Dentuman Agung (the Big Bang). Kita tidak boleh lari darinya. Kita perlu memeluknya, merengkuhnya, dan bahkan mentertawakan absurditas dari semua yang ada. Hanya dengan begitu kita tidak tergoda untuk bunuh diri. ***
Penulis
Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik,
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Hati terluka. Air mata menetes tanpa daya. Hidup terasa begitu sepi. Keluarga dan teman diam tersembunyi.
Itulah situasi batin orang-orang yang tersiksa. Hidup menggiring mereka ke ujung nestapa. Tak ada teman seperjalanan yang menguatkan. Yang ada adalah butir-butir kenangan akan pengkhianatan.
Seorang filsuf kontemporer terkemuka asal Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyatakan, bahwa hidup berasal dari katastrofi, atau bencana besar. Alam semesta bermula dari ledakan besar. Orang lahir ke dunia melalui penderitaan sang ibu. Cinta bukanlah gula kehidupan, namun justru sumber dari rasa sendu.
Maka orang perlu untuk melihat guncangan hidup sebagai bentuk kelahiran dari “yang lain”. Bahkan segala sesuatu yang di sekitar kita sekarang ini bermula dari sebuah bencana raksasa yang menimpa penguasa dunia sebelumnya, yakni dinosaurus. Maka guncangan bukanlah bagian dari kehidupan, melainkan justru kehidupan itu sendiri.
Situasi Batas
Manusia kerap kali terbentur situasi-situasi sulit dalam hidupnya. Situasi sulit ini menurut Karl Jasper, seorang filsuf Jerman, adalah situasi batas, termasuk di dalamnya adalah penderitaan, kematian, rasa bersalah, ketergantungan pada nasib, dan perjuangan di tengah bencana. Situasi batas ini membuat manusia sadar, betapa ia lemah dan tak berdaya. Situasi batas ini mengantarkan manusia pada kesadaran, bahwa Tuhan itu ada.
Dalam hidup kita dikepung oleh krisis tanpa henti. Kematian dari orang yang dicintai. Kehancuran bisnis yang dibangun di atas rencana dan mimpi. Hati yang terluka akibat pengkhianatan orang yang dikasihi. Sampai ditipu sahabat yang dipercaya.
Jasper mengajak kita menjalani semua ini dengan lapang dada. Krisis adalah situasi di mana manusia terbuka pada yang tak terbatas, atau Tuhan itu sendiri. Pada saat krisislah manusia menyadari, betapa ia bukan apa-apa. Krisis adalah pintu pencerahan dan penemuan kesejatian diri yang sesungguhnya.
Luka yang Memperkaya
Para pahlawan adalah mereka yang terluka. Medan perang menempa mereka. Luka tubuh adalah buktinya. Luka adalah simbol dari kepahlawanan yang perkasa.
Hal ini berlaku pula untuk luka mental. Kekecewaan dan penderitaan mental adalah simbol dari kepahlawanan jiwa. Orang perlu menyadari dan merawat luka itu dengan setia. Luka mental tidak boleh dilupakan, melainkan justru diterima dengan lapang dada.
Banyak orang takut akan lukanya. Lalu mereka tenggelam dalam hiburan semu, mulai dari alkohol, seks bebas, dan narkoba. Luka tidak jadi memperkaya, melainkan sesuatu yang berlalu tanpa makna. Buah dari semua itu adalah kedangkalan hidup di dunia.
Luka mental tidak pernah boleh dilupakan. Sayatan batin adalah simbol dari keperkasaan jiwa. Orang perlu melihatnya sebagai koleksi yang membanggakan. Penderitaan dan kekecewaan adalah piala-piala tanda keagungan jiwa.
Kesempatan
Luka adalah kesempatan. Krisis adalah peluang. Keduanya adalah peluang untuk menunjukkan, siapa kita sesungguhnya. Terlebih krisis adalah kesempatan untuk berbuat baik.
Kita seringkali melihat kekecewaan sebagai kerugian. Padahal kekecewaan adalah kesempatan untuk memaafkan. Kekecewaan adalah waktu yang tepat untuk berbuat baik. Kekecewaan adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan.
Ketika bencana alam terjadi, itu adalah kesempatan untuk menolong mereka yang kesulitan. Ketika terjadi pengkhianatan maka itu adalah kesempatan untuk belajar tentang kesetiaan. Ketika terjadi banyak kejahatan, maka itu adalah kesempatan untuk memberi cinta yang menyegarkan.
Krisis juga kesempatan untuk membuktikan diri. Dengan krisis orang ditempa situasi, dan menjadi dirinya yang sejati. Orang hanya perlu bertahan melaluinya, dan semua akan selesai pada akhirnya. Pada saat itu orang merasa puas, karena ia memetik buah-buah dari kesulitan hidupnya.
Banyak orang patah karena krisis. Mereka putus asa lalu bunuh diri. Mereka tidak bertahan di dalam badai. Mereka takluk oleh hidup yang memang tak selalu adil.
Sikap semacam itu tidak bisa disalahkan. Itu juga bagian dari pilihan. Namun sebetulnya itu tidak perlu terjadi. Orang bisa melihat kekecewaan dan penderitaan hidup sebagai kesempatan untuk membuktikan diri, maupun untuk sungguh berbuat baik pada yang membutuhkan.
Absurditas Hidup
Seorang filsuf dan sastrawan Prancis, Albert Camus, pernah menulis, bahwa satu-satunya penjelasan atas banyaknya penderitaan yang tidak beralasan di dunia adalah, bahwa hidup itu pada hakekatnya adalah absurditas. Orang tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka menderita. Orang juga tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka yang tertimpa bencana. Hidup ini absurd karena tak pernah sepenuhnya terpahami.
Yang perlu dilakukan adalah menerima fakta absurditas itu sendiri, dan menjalaninya secara perlahan. Jika tidak orang akan terus terbentur, karena harapan tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Orang akan bermimpi dan kecewa, karena mimpi tetaplah mimpi, tanpa realitas. Rasa putus asa ada di depan mata, juga disertai kecewa dan tangis.
Kita sering melihat betapa orang patah akibat kekecewaan. Kita juga sering melihat, betapa orang hancur, karena ditekan situasi. Namun sebetulnya mereka tidak perlu hancur, jika belajar menerima fakta absurditas hidup dan diri mereka sendiri. Mereka hanya perlu tertawa melihat, betapa hidup telah mempermainkan mereka.
Kekecewaan, penderitaan, dan krisis bukanlah bumbu kehidupan, melainkan justru esensi dari kehidupan itu sendiri. Absurd memang tetapi itulah yang terjadi. Bahkan awal mula alam semesta adalah sebuah katastrofi maha dasyat yang banyak disebut sebagai Dentuman Agung (the Big Bang). Kita tidak boleh lari darinya. Kita perlu memeluknya, merengkuhnya, dan bahkan mentertawakan absurditas dari semua yang ada. Hanya dengan begitu kita tidak tergoda untuk bunuh diri. ***
Penulis
Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik,
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Selasa, 08 Maret 2011
Jago Mencari Uang Tidak Sama Dengan Jago Mengatur Uang
Jago Mencari Uang Tidak Sama Dengan Jago Mengatur Uang
“Wow, you are good in making money!”, “Wuihh, target sales setahun sudah dapat di bulan ke 6.”, “Jago sekali Anda, profit perusahaan naik dua kali lipat.” beberapa kata diatas mungkin sering kali terdengar ditelinga Anda. Bisa jadi kata-kata tersebut ditujukan ke Anda, atau bahkan orang lain. Faktanya, dalam dunia profesional dan/atau dunia kerja, sering kali kita temui orang-orang yang memiliki kelebihan maupun keunggulan dalam mencari uang. Singkat cerita tipikal orang yang seperti itu umumnya akan menjadi aset yang berharga bagi perusahaan. Tapi pertanyaannya, apakah seseorang yang mahir alias jago mencari uang menjadi jaminan bahwa dirinya juga handal dalam mengelola serta mengatur keuangan pribadi? Jawabannya belum tentu. Tidak sedikit orang-orang yang konon katanya mahir dalam mencari uang (Good in making money) dalam perusahaan, memiliki masalah dalam keuangan pribadinya. Ada juga yang mampu menciptakan profit hingga berlipat-lipat di tempat kerja, tapi ternyata terlilit hutang yang besar dalam kehidupan pribadinya. Apakah hal tersebut menimpa rekan Anda, keluarga Anda, kolega Anda, atau bahkan Anda sendiri? Satu kata yang mampu menjabarkan kondisi tersebut adalah, Ironis. Yup, sangat ironis ketika melihat seseorang yang handal dalam mencari uang di tempat bekerja, tetapi memiliki masalah keuangan bertumpuk dalam keuangan pribadi.
Mari kita telaah lebih lanjut mengenai fenomena ini. Dalam bisnis, mungkin Anda pernah mendengar istilah “Do You Run Your Business, or Your Business Runs You?”, dalam Bahasa Indonesia pengertiannya pertanyaan tersebut adalah apakah Anda yang menjalankan bisnis Anda dan memiliki kekuasaan yang besar dalam mengatur jalannya bisnis Anda. Atau sebaliknya, Bisnis Anda mengendalikan kehidupan Anda. Konteks yang serupa pun bisa dianalogikan ke dalam uang. Sederhananya adalah “Do You Run Your Money, or Money Runs You?”. Apakah Anda memiliki kendali penuh dalam mengatur dan pengelolaan uang Anda, atau uang yang mengatur kehidupan Anda? Jika berbicara mengenai uang dan kebutuhan, sangat erat kaitannya. Apa lagi jika berbicara mana yang lebih dulu muncul, apakah uang terlebih dahulu, atau kebutuhan terlebih dahulu? Serupa dengan telur dan ayam, mana yang duluan. Ada yang berpendapat uang dulu yang dipikirkan, baru penuhi kebutuhan sesuai dengan uang yang ada. Ada juga yang berpendapat kebutuhannya dulu yang ditargetkan, kemudian cari uangnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak ada yang salah ataupun yang paling benar dalam hal ini. Keduanya dapat digunakan sebagai pendekatan awal agar terbiasa dengan pengaturan keuangan yang baik.
Kunci awal agar seseorang dapat mengatur keuangan dengan baik terletak kepada fokus tujuannya. Banyak kesalahan yang terjadi lantaran seseorang tidak memiliki tujuan yang jelas dalam kondisi keuangannya. Sehingga, sampai sebesar apapun uang yang dapat dihasilkan, tidaK dapat memenuhi jawaban atas kebutuhan mereka. Sebagai contoh sederhana, berapa banyak orang yang berfikir bahwa satu-satunya solusi agar permasalahan keuangan mereka terselesaikan adalah dengan adanya kenaikan income. Atau lebih sederhananya lagi adalah, “Saya baru akan bisa menabung, kalau memiliki panghasilan yang lebih besar dari ini.”. Secara logika dan perhitungan sederhana memang masuk akal, semakin tinggi penghasilan yang diterima maka semakin besar juga uang yang bisa disimpan. Akan tetapi, fakta yang sering kali muncul dilapangan adalah, “Semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pengeluaran.”. Oh ya? Masa sih? Mungkin Anda tidak percaya hal tersebut. Tapi coba perhatikan lingkungan sekitar, atau mungkin pengalaman pribadi Anda. Berapa banyak orang yang berkata, “Nanti aja deh nabung, Ntar aja deh Investasi, kalau uangnya udah banyak.”. Ironisnya pada saat mereka sudah memiliki uang yang lebih banyak karena gaji naik atau apapun itu, tetap saja mereka tidak bisa menabung. Fenomena ini yang akhirnya menjawab pertanyaan, dimana kenaikan penghasilan belum tentu menjadi jawaban atas semua permasalah keuangan. Kuncinya ada dalam pengaturan yang bijak. Pengaturan keuangan idealnya diawali dengan tujuan dan juga fokus. Apa yang ingin dicapai, kemana arah yang ingin dituju, berapa besar uang yang harus tersedia. Apa pun bahasanya, intinya adalah mengenai tujuan. Semakin fokus dan semakin jelas tujuannya, maka semakin besar potensi seseorang untuk dapat mengatur keuangan dengan bijak. Yang menjadi bahaya adalah pada saat tidak ada tujuan. Berapa besar uang yang diperoleh, tetap habis juga untuk sebuah alasan yang kadang tidak jelas. Seberapa sering Anda berbelanja atau membeli barang akan tetapi setelah tiba di rumah, Anda bingung barang tersebut untuk apa. Ingat kunci ada di tujuan Anda.
Sedikit sharing tentang pengalaman seseorang. Sebut saja dia adalah Boy, seorang laki-laki usia 25 tahun. Fresh greduate, baru bekerja kurang lebih 2 tahun dengan penghasilan 3,5 Juta rupiah per bulan. Dua tahun yang lalu, Boy bingung untuk apa uang yang dia dapatakan. Belum menikah, tinggal di kos-kosan, dan baru saja mencicipi dunia kerja. Singkat cerita, masih anak kemarin sore. Dalam masa kebingungannya, setiap bulan gaji Boy selalu habis tidak jelas untuk apa. Samapi satu titik tiba-tiba Boy menginginkan sebuah tempat tinggal sederhana untuk dirinya selama Boy bekerja di Jakarta. Tercetuslah sebuah ide untuk memiliki apartemen sederhana, sebut saja apartemen bersubsidi. Tidak lama setelah terlintas, Boy mencari seluruh informasi terkait dengan apartemen tersebut. Singkat cerita seluruh informasi sudah diperoleh, dan setalah dihitung-hitung ternyata Boy mampu mendapatkan apartment itu dengan catatan harus bisa mengatur keuangan dan juga melakukan investasi rutin dengan cara menyisihkan sebagian gaji yang diterima. Seiring waktu berjalan, setelah 2 tahun berlalu. Akhirnya aprtemen impian pun sudah bisa didapat. Meskipun masih mencicil, tapi cicilan tersebut pun bukan menjadi masalah karena Boy terbiasa mengatur keuangan secara bijak sesuai dengan kondisi yang ada.
Melihat contoh kasus diatas, berapa banyak orang yang memiliki gaji lebih besar dari Boy, tetapi mereka tidak bisa menabung. Berapa banyak orang yang sudah bekerja puluhan tahun, tetapi mereka tidak memiliki aset atas nama pribadi. Hati-hati, semakin tinggi penghasilan tidak menjamin Anda terlepas dari permasalahan keuangan. Godaan terbesar dalam pengaturan keuangan terletak pada diri sendiri, gaya hidup dan faktor lingkungan pun tidak ubahnya selalu menjadi dorongan bagi seseorang untuk beralasan mengapa mereka tidak dapat mengatur keuangan dengan bijak. Segala keputusan pada saat membeli sesuatu ataupun bertransaksi selalu muncul dari diri sendiri. Anda yang memutuskan apa yang ingin Anda lakukan. Jadi, jika Anda tidak bisa mengatur keuangan dengan baik, jangan salahkan orang lain. Salahkan diri sendiri, kenapa saya tidak bijak dalam mengatur keuangan? Fokus pada tujuan dapat menjadi perisai yang baik pada saat Anda berada pada posisi yang dilematis. Selama Anda tahu tujuannya apa, dan kemana arahnya dengan jelas, maka Anda juga akan lebih mudah mengetahui mana yang terbaik untuk Anda. Ingat menara kontrol dalam pengaturan keuangan ada di dalam diri Anda. Bukan dari berapa besar uang yang Anda hasilkan, tapi seberapa bijak Anda mengatur keuangan Anda. Have Fun with your Money…
Penulis. Budi Triadi Pratama, S.Mn, RIFA, RFA®
“Wow, you are good in making money!”, “Wuihh, target sales setahun sudah dapat di bulan ke 6.”, “Jago sekali Anda, profit perusahaan naik dua kali lipat.” beberapa kata diatas mungkin sering kali terdengar ditelinga Anda. Bisa jadi kata-kata tersebut ditujukan ke Anda, atau bahkan orang lain. Faktanya, dalam dunia profesional dan/atau dunia kerja, sering kali kita temui orang-orang yang memiliki kelebihan maupun keunggulan dalam mencari uang. Singkat cerita tipikal orang yang seperti itu umumnya akan menjadi aset yang berharga bagi perusahaan. Tapi pertanyaannya, apakah seseorang yang mahir alias jago mencari uang menjadi jaminan bahwa dirinya juga handal dalam mengelola serta mengatur keuangan pribadi? Jawabannya belum tentu. Tidak sedikit orang-orang yang konon katanya mahir dalam mencari uang (Good in making money) dalam perusahaan, memiliki masalah dalam keuangan pribadinya. Ada juga yang mampu menciptakan profit hingga berlipat-lipat di tempat kerja, tapi ternyata terlilit hutang yang besar dalam kehidupan pribadinya. Apakah hal tersebut menimpa rekan Anda, keluarga Anda, kolega Anda, atau bahkan Anda sendiri? Satu kata yang mampu menjabarkan kondisi tersebut adalah, Ironis. Yup, sangat ironis ketika melihat seseorang yang handal dalam mencari uang di tempat bekerja, tetapi memiliki masalah keuangan bertumpuk dalam keuangan pribadi.
Mari kita telaah lebih lanjut mengenai fenomena ini. Dalam bisnis, mungkin Anda pernah mendengar istilah “Do You Run Your Business, or Your Business Runs You?”, dalam Bahasa Indonesia pengertiannya pertanyaan tersebut adalah apakah Anda yang menjalankan bisnis Anda dan memiliki kekuasaan yang besar dalam mengatur jalannya bisnis Anda. Atau sebaliknya, Bisnis Anda mengendalikan kehidupan Anda. Konteks yang serupa pun bisa dianalogikan ke dalam uang. Sederhananya adalah “Do You Run Your Money, or Money Runs You?”. Apakah Anda memiliki kendali penuh dalam mengatur dan pengelolaan uang Anda, atau uang yang mengatur kehidupan Anda? Jika berbicara mengenai uang dan kebutuhan, sangat erat kaitannya. Apa lagi jika berbicara mana yang lebih dulu muncul, apakah uang terlebih dahulu, atau kebutuhan terlebih dahulu? Serupa dengan telur dan ayam, mana yang duluan. Ada yang berpendapat uang dulu yang dipikirkan, baru penuhi kebutuhan sesuai dengan uang yang ada. Ada juga yang berpendapat kebutuhannya dulu yang ditargetkan, kemudian cari uangnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tidak ada yang salah ataupun yang paling benar dalam hal ini. Keduanya dapat digunakan sebagai pendekatan awal agar terbiasa dengan pengaturan keuangan yang baik.
Kunci awal agar seseorang dapat mengatur keuangan dengan baik terletak kepada fokus tujuannya. Banyak kesalahan yang terjadi lantaran seseorang tidak memiliki tujuan yang jelas dalam kondisi keuangannya. Sehingga, sampai sebesar apapun uang yang dapat dihasilkan, tidaK dapat memenuhi jawaban atas kebutuhan mereka. Sebagai contoh sederhana, berapa banyak orang yang berfikir bahwa satu-satunya solusi agar permasalahan keuangan mereka terselesaikan adalah dengan adanya kenaikan income. Atau lebih sederhananya lagi adalah, “Saya baru akan bisa menabung, kalau memiliki panghasilan yang lebih besar dari ini.”. Secara logika dan perhitungan sederhana memang masuk akal, semakin tinggi penghasilan yang diterima maka semakin besar juga uang yang bisa disimpan. Akan tetapi, fakta yang sering kali muncul dilapangan adalah, “Semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pengeluaran.”. Oh ya? Masa sih? Mungkin Anda tidak percaya hal tersebut. Tapi coba perhatikan lingkungan sekitar, atau mungkin pengalaman pribadi Anda. Berapa banyak orang yang berkata, “Nanti aja deh nabung, Ntar aja deh Investasi, kalau uangnya udah banyak.”. Ironisnya pada saat mereka sudah memiliki uang yang lebih banyak karena gaji naik atau apapun itu, tetap saja mereka tidak bisa menabung. Fenomena ini yang akhirnya menjawab pertanyaan, dimana kenaikan penghasilan belum tentu menjadi jawaban atas semua permasalah keuangan. Kuncinya ada dalam pengaturan yang bijak. Pengaturan keuangan idealnya diawali dengan tujuan dan juga fokus. Apa yang ingin dicapai, kemana arah yang ingin dituju, berapa besar uang yang harus tersedia. Apa pun bahasanya, intinya adalah mengenai tujuan. Semakin fokus dan semakin jelas tujuannya, maka semakin besar potensi seseorang untuk dapat mengatur keuangan dengan bijak. Yang menjadi bahaya adalah pada saat tidak ada tujuan. Berapa besar uang yang diperoleh, tetap habis juga untuk sebuah alasan yang kadang tidak jelas. Seberapa sering Anda berbelanja atau membeli barang akan tetapi setelah tiba di rumah, Anda bingung barang tersebut untuk apa. Ingat kunci ada di tujuan Anda.
Sedikit sharing tentang pengalaman seseorang. Sebut saja dia adalah Boy, seorang laki-laki usia 25 tahun. Fresh greduate, baru bekerja kurang lebih 2 tahun dengan penghasilan 3,5 Juta rupiah per bulan. Dua tahun yang lalu, Boy bingung untuk apa uang yang dia dapatakan. Belum menikah, tinggal di kos-kosan, dan baru saja mencicipi dunia kerja. Singkat cerita, masih anak kemarin sore. Dalam masa kebingungannya, setiap bulan gaji Boy selalu habis tidak jelas untuk apa. Samapi satu titik tiba-tiba Boy menginginkan sebuah tempat tinggal sederhana untuk dirinya selama Boy bekerja di Jakarta. Tercetuslah sebuah ide untuk memiliki apartemen sederhana, sebut saja apartemen bersubsidi. Tidak lama setelah terlintas, Boy mencari seluruh informasi terkait dengan apartemen tersebut. Singkat cerita seluruh informasi sudah diperoleh, dan setalah dihitung-hitung ternyata Boy mampu mendapatkan apartment itu dengan catatan harus bisa mengatur keuangan dan juga melakukan investasi rutin dengan cara menyisihkan sebagian gaji yang diterima. Seiring waktu berjalan, setelah 2 tahun berlalu. Akhirnya aprtemen impian pun sudah bisa didapat. Meskipun masih mencicil, tapi cicilan tersebut pun bukan menjadi masalah karena Boy terbiasa mengatur keuangan secara bijak sesuai dengan kondisi yang ada.
Melihat contoh kasus diatas, berapa banyak orang yang memiliki gaji lebih besar dari Boy, tetapi mereka tidak bisa menabung. Berapa banyak orang yang sudah bekerja puluhan tahun, tetapi mereka tidak memiliki aset atas nama pribadi. Hati-hati, semakin tinggi penghasilan tidak menjamin Anda terlepas dari permasalahan keuangan. Godaan terbesar dalam pengaturan keuangan terletak pada diri sendiri, gaya hidup dan faktor lingkungan pun tidak ubahnya selalu menjadi dorongan bagi seseorang untuk beralasan mengapa mereka tidak dapat mengatur keuangan dengan bijak. Segala keputusan pada saat membeli sesuatu ataupun bertransaksi selalu muncul dari diri sendiri. Anda yang memutuskan apa yang ingin Anda lakukan. Jadi, jika Anda tidak bisa mengatur keuangan dengan baik, jangan salahkan orang lain. Salahkan diri sendiri, kenapa saya tidak bijak dalam mengatur keuangan? Fokus pada tujuan dapat menjadi perisai yang baik pada saat Anda berada pada posisi yang dilematis. Selama Anda tahu tujuannya apa, dan kemana arahnya dengan jelas, maka Anda juga akan lebih mudah mengetahui mana yang terbaik untuk Anda. Ingat menara kontrol dalam pengaturan keuangan ada di dalam diri Anda. Bukan dari berapa besar uang yang Anda hasilkan, tapi seberapa bijak Anda mengatur keuangan Anda. Have Fun with your Money…
Penulis. Budi Triadi Pratama, S.Mn, RIFA, RFA®
Kamis, 03 Maret 2011
Membaca=Bingung
Membaca=Bingung
MEDIKA HERMAWAN
Ada tren yang bisa dibilang sedang menjamur di kalangan penulis Indonesia, yaitu “membuat pembaca Indonesia bingung dengan tulisan yang dibuatnya”, entah karena pengetahuan yang berlebih, atau kemampuan intelektual bangsa ini yang dinilai sudah mumpuni sehingga tulisan-tulisan dalam litelatur masa ini terasa sangat berat untuk dilahap. Contoh kasusnya adalah penggunaan kata serapan dalam setiap karya tulis, yang seringkali menyulitkan, sehingga memerlukan energy dalam jumlah yang besar untuk memahaminya dan mengetahui kulit luarnya saja……….
Contoh:
“Kepemimpinan berurusan dengan dinamika sistem, mekanisme, atau masinesasi sosial dan orientasi humanis dalam seluruh hakikat serta aspek kepemimpinan.
Faktor ini sangat menekankan tentang unsur manusia dan orientasi kemanusiaan dalam lingkup dimana kepemimpinan ini dijalankan, yang menentukan segla sesuatu dalam kepemimpinannya.”
Tulisan seperti di atas memang terlihat berbobot, tergambar bahwa orang yang menulis memiliki pengetahuan yang luas, namun apalah artinya jika maksud yang hendak disampaikan tidak tersosialisasi dengan baik, bahkan membuat pembaca bingung karena akan muncul tafsiran dengan berbagai versi yang berbeda, sehingga tidak heran apabila minat baca terhadap litelatur perkuliahan sengat rendah, karena pembaca cendrung memilih bacaan yang lebih ringan……….
Kata serapan yang seharusnya menjadi sarana untuk memudahkan kita memahami kata-kata asing malah menimbulkan permasalahan-permasalahan kebahasaan, hal tersebut dikarenakan Banyak kata-kata yang diserap secara utuh tanpa melalui penyesuaian dalam kaidah di dalam penulisan (Anomali), diperparah lagi sekarang muncul trend menambahkan ‘sasi’ pada kata-kata yang tidak tepat.
Contoh:
Kata serapan dari bahasa Inggris yang aslinya berakhir dengan "tion” yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan mengalami penyesuaian sehingga berubah menjadi "si" diakhir kata berlangsung dengan frekwensi sangat tinggi. kenyataan ini melahirkan masalah kebahasaan yaitu munculnya akhiran sasi yang melekat pada kata-kata yang tidak berasal dari bahasa Inggris, seperti:
Islamisasi - islam + sasi
kristenisasi - kristen + sasi
neonisasi - neon + sasi
polarisasi - pola + sasi
jawanisasi - jawa + sasi
Epenisasi - Epen + sasi
Hmmmmmmmmmm……………………………………..
ada baiknya untuk memudahkan pembaca memahami tulisan-tulisan ilmiah, bahasa yang digunakan dibuat seperti novel dengan alur yang dibumbui metafor-metafor, jadi kita bisa membaca tesis,skripsi,LA,berjam-jam tanpa bingung sekaligus mengerti isinya………….
M-10.BKS
MEDIKA HERMAWAN
Ada tren yang bisa dibilang sedang menjamur di kalangan penulis Indonesia, yaitu “membuat pembaca Indonesia bingung dengan tulisan yang dibuatnya”, entah karena pengetahuan yang berlebih, atau kemampuan intelektual bangsa ini yang dinilai sudah mumpuni sehingga tulisan-tulisan dalam litelatur masa ini terasa sangat berat untuk dilahap. Contoh kasusnya adalah penggunaan kata serapan dalam setiap karya tulis, yang seringkali menyulitkan, sehingga memerlukan energy dalam jumlah yang besar untuk memahaminya dan mengetahui kulit luarnya saja……….
Contoh:
“Kepemimpinan berurusan dengan dinamika sistem, mekanisme, atau masinesasi sosial dan orientasi humanis dalam seluruh hakikat serta aspek kepemimpinan.
Faktor ini sangat menekankan tentang unsur manusia dan orientasi kemanusiaan dalam lingkup dimana kepemimpinan ini dijalankan, yang menentukan segla sesuatu dalam kepemimpinannya.”
Tulisan seperti di atas memang terlihat berbobot, tergambar bahwa orang yang menulis memiliki pengetahuan yang luas, namun apalah artinya jika maksud yang hendak disampaikan tidak tersosialisasi dengan baik, bahkan membuat pembaca bingung karena akan muncul tafsiran dengan berbagai versi yang berbeda, sehingga tidak heran apabila minat baca terhadap litelatur perkuliahan sengat rendah, karena pembaca cendrung memilih bacaan yang lebih ringan……….
Kata serapan yang seharusnya menjadi sarana untuk memudahkan kita memahami kata-kata asing malah menimbulkan permasalahan-permasalahan kebahasaan, hal tersebut dikarenakan Banyak kata-kata yang diserap secara utuh tanpa melalui penyesuaian dalam kaidah di dalam penulisan (Anomali), diperparah lagi sekarang muncul trend menambahkan ‘sasi’ pada kata-kata yang tidak tepat.
Contoh:
Kata serapan dari bahasa Inggris yang aslinya berakhir dengan "tion” yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan mengalami penyesuaian sehingga berubah menjadi "si" diakhir kata berlangsung dengan frekwensi sangat tinggi. kenyataan ini melahirkan masalah kebahasaan yaitu munculnya akhiran sasi yang melekat pada kata-kata yang tidak berasal dari bahasa Inggris, seperti:
Islamisasi - islam + sasi
kristenisasi - kristen + sasi
neonisasi - neon + sasi
polarisasi - pola + sasi
jawanisasi - jawa + sasi
Epenisasi - Epen + sasi
Hmmmmmmmmmm……………………………………..
ada baiknya untuk memudahkan pembaca memahami tulisan-tulisan ilmiah, bahasa yang digunakan dibuat seperti novel dengan alur yang dibumbui metafor-metafor, jadi kita bisa membaca tesis,skripsi,LA,berjam-jam tanpa bingung sekaligus mengerti isinya………….
M-10.BKS
NOVEL WAJIB ( THE ALCHEMIST, PAULO COELHO)
"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu."Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada." Demikian selintas percakapan antara sang Alkemis dan Santiago, anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpinya. Perjalanan tersebut membawanya ke Tangier serta padang gurun Mesir, dan di sanalah dia bertemu sang alkemis yang menuntunnya menuju harta karunnya, serta mengajarinya tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran, dan kegigihan. Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.
"waktu jalan-jalan ke palasari gk sengaja mataku tertuju pada buku ini, gk tau kenapa aku jadi tertarik trus langsung beli, dan malamnya aku langsung akrab dengan tulisan bang Paulo, enak dibaca, tata bahasanya luar biasa... rasanya nyesal baru baca novel sebagus dan seterkenal ini baru sekarang. setelah puas berimajinasi ria dengan novelnya langsung aja aku rekomendasikan kepada tema-teman... dan... mereka juga sependapat denganku, Mantap... Sekarang tinggal berburu novel-novel bang Paulo Lainnya, semoga lebih dasyat."
Novel ini adalah karya Coelho yang paling terkenal diantara karyanya yang lain dan terjual dalam jumlah besar (best seller), Sang Alkemis telah menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca di dunia. Novel ini bercerita tentang petualangan seorang anak gembala bernama Santiago untuk mendapatkan harta karun yang muncul di mimpinya. Bermula dari mimpinya tentang harta karun di sebuah gereja kecil, dan bebekal petunjuk dan ilham dari Raja Tua, sang anak gembala akhirnya menjual seluruh domba-dombanya untuk pergi ke piramida-piramida menemukan harta karunnya. Perjalanan inilah yang juga membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya. Setiap episode perjalannya akan memberikan banyak inspirasi secara simbolis kepada pembaca terutama mengenai perihal keberanian dan perjuangan meraih mimpi dan pengenalan akan harta yang sejati. Banyak karakter-karakter yang kuat dan signifikan dalam novel ini, salah satunya adalah seorang raja tua yang mengatakan “When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.” Hal ini yang menjadi filosofi inti dari novel ini. Kisah sederhana yang indah dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Pada buku ini Coelho menuliskan alur penceritaan simbolik yang mendorong pembacanya agar mengejar mimpi mereka selain itu banyak cerita yang berkaitan dengan Alkitab dan agama Kristen.
Dalam kisah ini Paulo sering kali menegaskan bahwa, jika kita memiliki suatu keinginan, maka seluruh jagat raya akan bersatu padu membantumu untuk mewujudkannya. Hal yang perlu kita lakukan hanyalah membaca dan mengikuti setiap pertanda yang telah diberikan Yang Maha Kuasa. Karena sesungguhnya Tuhan telah menyiapkan jalan yang harus dilalui masing-masing orang. Pelajaran yang bisa diambil tidak hanya soal pencapaian seorang manusia atas apa yang ingin dituju. Penulis juga banyak bercerita tentang hati, cinta, dan juga garis kehidupan manusia yang telah tertulis oleh Sang Pencipta.
The Alchemist diterbitkan pertama kali di Brazil pada tahun 1988 dalam bahasa Portugis. Novel Pulo Coelho ini telah diterjemahkan dalam 56 bahasa dan memenangkan Guiness World Record sebagai novel yang paling banyak diterjemahkan dimana penulisnya masih hidup. Novel ini telah terjual sebanyak 65 juta kopi di 150 lebih negara. Agaknya novel ini bisa disebut sebagai salah satu novel terlaris sepanjang masa. Paulo Coelho. Nama penulis kelahiran Rio de Jainero ini sudah sering gue denger sebelumnya, tapi baru sekarang gue sempat membaca karya terpopulernya, The Alchemist. Novel yang diterbitkan pada tahun 1988 dengan judul asli O Alquimisto, sudah diterjemahkan ke dalam 56 bahasa asing dan menjadi karyanya yang paling digemari oleh pembaca.
The Alchemist adalah salah satu buku yang wajib hukumnya untuk dibaca. Mau baca yang versi terjemahannya pun oke, karena bahasanya tidak kaku. Selain itu pembaca juga tidak kehilangan pesan dan feel yang ada dalam cerita. Lebih baik terlambat [membaca karya Paulo Coelho] daripada tidak sama sekali.
“Dan Tuhan jarang sekali mengungkapkan masa depan. Kalaupun Dia melakukannya, alasannya hanya satu: masa depan itu telah digariskan untuk diubah”
Dan, berangkali benar kata ‘the Old King’,
"setelah baca semua kita langsung sadar dengan keapatisan kita terhadap tanda2 dari alam, dan buat kita menghargai setiap mimpi-mimpi, harapan yang ingin terjadi kelak."
Rabu, 02 Maret 2011
Soeharto dan Yesus
Majalah Tempo, Soeharto dan Yesus
Oleh: Pdt Daniel Taruli Asi Harahap
http://rumametmet.com
Terus terang Tempo adalah satu-satunya media nasional yang melegakan hati saya di hari-hari terakhir sakit mantan presiden Soeharto sampai kepada kematiannya dan pemakamannya. Ketika seluruh media televisi tiba-tiba secara memualkan mendaulad Soeharto sebagai seorang “santo”, “aulia” atau “pahlawan suci tak bercela” hanya majalah Tempolah yang tetap menjaga dirinya kritis dan jernih memandang bekas penguasa digdaya Indonesia selama 32 (tiga puluh dua) tahun. Jauh sebelumnya, Tempo jugalah satu-satunya majalah yang serius melakukan investigasi melacak kekayaan Soeharto dan keluarganya. Tanpa harus mencemooh dan memaki-maki memakai bahasa vulgar, Tempo tetap pada pendiriannya bahwa Soeharto yang setelah mundur dari presiden menjadi manusia tua renta itu adalah figur yang penuh kontroversi di saat berkuasa, yang cenderung menganggap dirinya sebagai raja dengan restu ilahi yang kata-katanya bak sabda tak tersanggah, dan melakukan banyak kekerasan sekehendak
hatinya. Dari Tempo jugalah saya sering tahu hal-hal kecil tapi aneh di sekitar lingkaran kekuasaan yang menggelitik hati untuk berpikir dalam. Salah satu kejanggalan itu: walaupun para mantan pejabat dan tokoh seakan ber-koor meminta masyarakat memaafkan mantan presiden Soeharto namun anak-anak Soeharto sendiri rupanya sama sekali tidak mampu memaafkan Habibie dan Harmoko, yang terbukti dari penolakan kehadiran keduanya untuk menjenguk mantan bossnya. Padahal Habibie sudah jauh-jauh terbang dari Jerman.
Namun hari-hari ini Tempo dikecam habis-habisan oleh orang Kristen (tidak semua) atas covernya yang dianggap sensasional. Dan Tempo meminta maaf. Cover itu sendiri diakui oleh perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci “The Last Supper”, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridNya sebelum Dia disalibkan. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan Last Supper. Saya sendiri mengaku ketika pertama kali melihat cover itu terperanjat dan
bertanya-tanya: apa hubungannya? Mengapa desainer itu melukiskan Soeharto seperti Yesus sedang makan Paskah terakhir sebagaimana lukisan Davinci itu?
Saya mengakui sebenarnya lukisan Last Supper itu adalah imajinasi Davinci sendiri (sebab Yesus dan murid-muridNya tidak terbiasa duduk di kursi memakai meja) yang memakai kerangka berpikir Eropah abad pertengahan. Wajah Yesus adalah wajah Yesus yang dibayangkan oleh sang pelukis. Kita semua tahu bahwa pada masa itu sama sekali belum ada kamera dan wajah Yesus baru “dilukis” sesudah beberapa abad kematianNya. Karena itu dari segi agama sebenarnya tidak ada penodaan atau pelecehan. Tapi tunggu dulu. Sebagian orang Kristen, terutama dari kalangan Katolik dan ortodoks memperlakukan lukisan tokoh-tokoh
Alkitab dan bapa-bapa gereja tidak sekadar lukisan atau dekorasi, tetapi bagian dari perlengkapan ibadah, bahkan ikon, benda suci, Kitab Suci dalam rupa atau gambar. Disinilah masalahnya. Tempo tentu bisa dianggap tidak sensitif terhadap keyakinan pemeluk agama Kristen khususnya Katolik yang meninggikan lukisan-lukisan agama itu. Namun bukan hanya umat Katolik yang merasa terusik. Lukisan Davinci telah lama merasuk ke dalam kehidupan umat Kristen secara keseluruhan. Lukisan itu begitu banyak dipasang di ruang tamu Kristen (bukan hanya Katolik) dan menjadi simbol kekristenan yang paling populer sesudah
salib. Apalagi lukisan itu merujuk kepada sakramen perjamuan kudus yang diamanatkan oleh Yesus. Pertanyaan di sini: mengapa Tempo menggunakan simbol keagamaan yang sangat penting ini untuk pemberitaannya tentang Soeharto setelah dia (Soeharto) pergi? Namun jangan gusar. Bukan Tempo yang pertama kali mengutak-atik lukisan Last Supper. Kalau tidak percaya: googling saja atau lacak saja di internet. Dengan mudah kita bertemu lukisan atau karikatur yang mengambil Last Supper sebagai inspirasinya. Sebagian inspiring dan sebagian lagi konyol.
Kebetulan saya bukan kritikus seni. Sebab itu saya mencoba memahami makna cover Tempo itu dengan logika saya sendiri. Terus terang, awalnya sulit sekali bagi saya memahami kenapa sang perancang cover menyamakan Soeharto dengan Yesus. Kedua tokoh ini menurut saya berbeda bagaikan langit dan bumi. Yesus seorang miskin papa dan tidak meninggalkan warisan sedikit pun bahkan tidak punya rumah. Soeharto kaya raya dan pernah disebut Forbes sebagai salah satu orang terkaya di dunia dan dituduh mendapatkan harta itu dengan tidak sah. Yesus tidak memiliki anak atau keturunan sementara Soeharto punya anak cucu
yang senantiasa disokong dan diistimewakannya berbisnis selama dia berkuasa. Yesus tidak pernah menjadi penguasa politik dan militer. Soeharto adalah presiden 32 tahun dan jenderal besar. Yesus tidak pernah melakukan kekerasan. Soeharto (sesuai pengakuannya sendiri) menganggap kekerasan itu perlu. Lantas apa hubungan antara Yesus dan Soeharto kecuali sama-sama anak desa? Mengapa si perancang melukis Soeharto bagaikan Yesus di hari terakhir kehidupannya? Saya tidak yakin Tempo bodoh atau lugu. Juga saya tidak yakin Tempo ingin menghina agama Kristen yang saya anut sebab selama bertahun-tahun membaca Tempo saya menangkap komitmen Tempo kepada pluralitas agama dan budaya. (Namun saya percaya Tempo kadang butuh sensasi menaikkan oplah). Lantas selain sensasi dalam rangka menaikkan tiras apa pesan yang mau disampaikan majalah kesukaan saya ini?
Setelah membaca seksama keseluruhan laporan utama majalah Tempo tentang sepak-terjang Soeharto dan anak-anak serta cucunya, saya berkesimpulan Tempo sedang menyindir. Ya itu gaya khas Tempo (juga kebiasaan orang Timur baik-baik). Dia menyindir bangsa ini, orang-orang Kristen dan beragama lainnya, dan mungkin juga menyindir media-media lain yang tiba-tiba mengangkat Soeharto menjadi orang suci tanpa cela (dengan melupakan begitu saja pembantaian terhadap orang PKI, korban operasi militer di Aceh dan Papua, kerusuhan Mei yang menyengsarakan puluhan ribu warga Tionghoa, kebangkrutan ekonomi dll).
Sindiran itu kena. Saya merasa ditohok, sebab saya tahu betul ada banyak sekali orang Kristen (juga orang beragama lainnya) yang diam-diam atau terang-terangan memuja Soeharto seperti seorang “tuan dari segala tuan” dan “raja dari segala raja” yang harus ditaati mutlak atau tanpa syarat. Ya banyak orang di saat Soeharto berkuasa dan apalagi setelah matinya menganggap dia bagaikan “juruselamat” bangsa ini. Dengan memparodikan lukisan Davinci, Tempo sedang membuat Yesus (secara tersirat tokoh-tokoh luhur penganjur iman lainnya) sebagai cermin bagi Soeharto dan semua orang berkuasa dan berambisi berkuasa mutlak. Alih-alih menghina Yesus, majalah yang didirikan oleh Gunawan Mohammad itu justru meninggikan Yesus yang sepanjang hidupNya
memilih kesederhanaan, kebenaran, cara-cara tanpa kekerasan, dan jauh dari kekuasaan duniawi. Sebaliknya tentang Soeharto tahu sendirilah. Sebab itu menghadapi sindiran semacam itu saya dan kita seharusnya senyum (walau muka memerah) dan bukannya marah-marah. Apalagi tanpa membaca laporan yang ada dibalik cover majalah itu.
Sebab itu saya sama sekali tidak tersinggung dengan cover Tempo yang mengambil inspirasi dari lukisan terkenal Leonardo Davinci. Malah saya bersyukur. Cover Tempo itu dan terutama laporan di dalamnya bukan saja memberi saya informasi “enak dibaca dan perlu” tentang Soeharto, tetapi juga mendorong saya merenung ulang tentang apa sebenarnya yang disebut menjadi kristen atau pengikut Yesus di Indonesia yang centang-perenang ini. Yaitu: menjadikan hidup Yesus sebagai teladan atau acuan. Silahkan catat: inilah sikap hidup Yesus yang harus juga ada pada orang-orang yang mengatakan diri sebagai pengikutNya: mengambil resiko mengatakan yang benar, tidak mau menggunakan kekerasan, dan suka membela orang miskin dan tersingkirkan. Jujur,
sedikit-banyak sikap itu saya temukan secara konsisten pada orang-orang Tempo. Namun saya mau tanya terutama kepada kawan-kawan saya Kristen: apakah sikap hidup Yesus itu juga ada pada Anda yang hari-hari ini merasa imannya terusik dan tersinggung. Jika tidak, diamlah [.]
Oleh: Pdt Daniel Taruli Asi Harahap
http://rumametmet.com
Terus terang Tempo adalah satu-satunya media nasional yang melegakan hati saya di hari-hari terakhir sakit mantan presiden Soeharto sampai kepada kematiannya dan pemakamannya. Ketika seluruh media televisi tiba-tiba secara memualkan mendaulad Soeharto sebagai seorang “santo”, “aulia” atau “pahlawan suci tak bercela” hanya majalah Tempolah yang tetap menjaga dirinya kritis dan jernih memandang bekas penguasa digdaya Indonesia selama 32 (tiga puluh dua) tahun. Jauh sebelumnya, Tempo jugalah satu-satunya majalah yang serius melakukan investigasi melacak kekayaan Soeharto dan keluarganya. Tanpa harus mencemooh dan memaki-maki memakai bahasa vulgar, Tempo tetap pada pendiriannya bahwa Soeharto yang setelah mundur dari presiden menjadi manusia tua renta itu adalah figur yang penuh kontroversi di saat berkuasa, yang cenderung menganggap dirinya sebagai raja dengan restu ilahi yang kata-katanya bak sabda tak tersanggah, dan melakukan banyak kekerasan sekehendak
hatinya. Dari Tempo jugalah saya sering tahu hal-hal kecil tapi aneh di sekitar lingkaran kekuasaan yang menggelitik hati untuk berpikir dalam. Salah satu kejanggalan itu: walaupun para mantan pejabat dan tokoh seakan ber-koor meminta masyarakat memaafkan mantan presiden Soeharto namun anak-anak Soeharto sendiri rupanya sama sekali tidak mampu memaafkan Habibie dan Harmoko, yang terbukti dari penolakan kehadiran keduanya untuk menjenguk mantan bossnya. Padahal Habibie sudah jauh-jauh terbang dari Jerman.
Namun hari-hari ini Tempo dikecam habis-habisan oleh orang Kristen (tidak semua) atas covernya yang dianggap sensasional. Dan Tempo meminta maaf. Cover itu sendiri diakui oleh perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci “The Last Supper”, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridNya sebelum Dia disalibkan. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan Last Supper. Saya sendiri mengaku ketika pertama kali melihat cover itu terperanjat dan
bertanya-tanya: apa hubungannya? Mengapa desainer itu melukiskan Soeharto seperti Yesus sedang makan Paskah terakhir sebagaimana lukisan Davinci itu?
Saya mengakui sebenarnya lukisan Last Supper itu adalah imajinasi Davinci sendiri (sebab Yesus dan murid-muridNya tidak terbiasa duduk di kursi memakai meja) yang memakai kerangka berpikir Eropah abad pertengahan. Wajah Yesus adalah wajah Yesus yang dibayangkan oleh sang pelukis. Kita semua tahu bahwa pada masa itu sama sekali belum ada kamera dan wajah Yesus baru “dilukis” sesudah beberapa abad kematianNya. Karena itu dari segi agama sebenarnya tidak ada penodaan atau pelecehan. Tapi tunggu dulu. Sebagian orang Kristen, terutama dari kalangan Katolik dan ortodoks memperlakukan lukisan tokoh-tokoh
Alkitab dan bapa-bapa gereja tidak sekadar lukisan atau dekorasi, tetapi bagian dari perlengkapan ibadah, bahkan ikon, benda suci, Kitab Suci dalam rupa atau gambar. Disinilah masalahnya. Tempo tentu bisa dianggap tidak sensitif terhadap keyakinan pemeluk agama Kristen khususnya Katolik yang meninggikan lukisan-lukisan agama itu. Namun bukan hanya umat Katolik yang merasa terusik. Lukisan Davinci telah lama merasuk ke dalam kehidupan umat Kristen secara keseluruhan. Lukisan itu begitu banyak dipasang di ruang tamu Kristen (bukan hanya Katolik) dan menjadi simbol kekristenan yang paling populer sesudah
salib. Apalagi lukisan itu merujuk kepada sakramen perjamuan kudus yang diamanatkan oleh Yesus. Pertanyaan di sini: mengapa Tempo menggunakan simbol keagamaan yang sangat penting ini untuk pemberitaannya tentang Soeharto setelah dia (Soeharto) pergi? Namun jangan gusar. Bukan Tempo yang pertama kali mengutak-atik lukisan Last Supper. Kalau tidak percaya: googling saja atau lacak saja di internet. Dengan mudah kita bertemu lukisan atau karikatur yang mengambil Last Supper sebagai inspirasinya. Sebagian inspiring dan sebagian lagi konyol.
Kebetulan saya bukan kritikus seni. Sebab itu saya mencoba memahami makna cover Tempo itu dengan logika saya sendiri. Terus terang, awalnya sulit sekali bagi saya memahami kenapa sang perancang cover menyamakan Soeharto dengan Yesus. Kedua tokoh ini menurut saya berbeda bagaikan langit dan bumi. Yesus seorang miskin papa dan tidak meninggalkan warisan sedikit pun bahkan tidak punya rumah. Soeharto kaya raya dan pernah disebut Forbes sebagai salah satu orang terkaya di dunia dan dituduh mendapatkan harta itu dengan tidak sah. Yesus tidak memiliki anak atau keturunan sementara Soeharto punya anak cucu
yang senantiasa disokong dan diistimewakannya berbisnis selama dia berkuasa. Yesus tidak pernah menjadi penguasa politik dan militer. Soeharto adalah presiden 32 tahun dan jenderal besar. Yesus tidak pernah melakukan kekerasan. Soeharto (sesuai pengakuannya sendiri) menganggap kekerasan itu perlu. Lantas apa hubungan antara Yesus dan Soeharto kecuali sama-sama anak desa? Mengapa si perancang melukis Soeharto bagaikan Yesus di hari terakhir kehidupannya? Saya tidak yakin Tempo bodoh atau lugu. Juga saya tidak yakin Tempo ingin menghina agama Kristen yang saya anut sebab selama bertahun-tahun membaca Tempo saya menangkap komitmen Tempo kepada pluralitas agama dan budaya. (Namun saya percaya Tempo kadang butuh sensasi menaikkan oplah). Lantas selain sensasi dalam rangka menaikkan tiras apa pesan yang mau disampaikan majalah kesukaan saya ini?
Setelah membaca seksama keseluruhan laporan utama majalah Tempo tentang sepak-terjang Soeharto dan anak-anak serta cucunya, saya berkesimpulan Tempo sedang menyindir. Ya itu gaya khas Tempo (juga kebiasaan orang Timur baik-baik). Dia menyindir bangsa ini, orang-orang Kristen dan beragama lainnya, dan mungkin juga menyindir media-media lain yang tiba-tiba mengangkat Soeharto menjadi orang suci tanpa cela (dengan melupakan begitu saja pembantaian terhadap orang PKI, korban operasi militer di Aceh dan Papua, kerusuhan Mei yang menyengsarakan puluhan ribu warga Tionghoa, kebangkrutan ekonomi dll).
Sindiran itu kena. Saya merasa ditohok, sebab saya tahu betul ada banyak sekali orang Kristen (juga orang beragama lainnya) yang diam-diam atau terang-terangan memuja Soeharto seperti seorang “tuan dari segala tuan” dan “raja dari segala raja” yang harus ditaati mutlak atau tanpa syarat. Ya banyak orang di saat Soeharto berkuasa dan apalagi setelah matinya menganggap dia bagaikan “juruselamat” bangsa ini. Dengan memparodikan lukisan Davinci, Tempo sedang membuat Yesus (secara tersirat tokoh-tokoh luhur penganjur iman lainnya) sebagai cermin bagi Soeharto dan semua orang berkuasa dan berambisi berkuasa mutlak. Alih-alih menghina Yesus, majalah yang didirikan oleh Gunawan Mohammad itu justru meninggikan Yesus yang sepanjang hidupNya
memilih kesederhanaan, kebenaran, cara-cara tanpa kekerasan, dan jauh dari kekuasaan duniawi. Sebaliknya tentang Soeharto tahu sendirilah. Sebab itu menghadapi sindiran semacam itu saya dan kita seharusnya senyum (walau muka memerah) dan bukannya marah-marah. Apalagi tanpa membaca laporan yang ada dibalik cover majalah itu.
Sebab itu saya sama sekali tidak tersinggung dengan cover Tempo yang mengambil inspirasi dari lukisan terkenal Leonardo Davinci. Malah saya bersyukur. Cover Tempo itu dan terutama laporan di dalamnya bukan saja memberi saya informasi “enak dibaca dan perlu” tentang Soeharto, tetapi juga mendorong saya merenung ulang tentang apa sebenarnya yang disebut menjadi kristen atau pengikut Yesus di Indonesia yang centang-perenang ini. Yaitu: menjadikan hidup Yesus sebagai teladan atau acuan. Silahkan catat: inilah sikap hidup Yesus yang harus juga ada pada orang-orang yang mengatakan diri sebagai pengikutNya: mengambil resiko mengatakan yang benar, tidak mau menggunakan kekerasan, dan suka membela orang miskin dan tersingkirkan. Jujur,
sedikit-banyak sikap itu saya temukan secara konsisten pada orang-orang Tempo. Namun saya mau tanya terutama kepada kawan-kawan saya Kristen: apakah sikap hidup Yesus itu juga ada pada Anda yang hari-hari ini merasa imannya terusik dan tersinggung. Jika tidak, diamlah [.]
People power
People power
Oleh: Medika Hermawan
Kemampuan rata-rata masyarakat indonesia dalam menggunakan bahasa Internasional (bahasa Inggris) harus diakui memang masih rendah, untuk mengartikan kalimat saja sampai berkeringat, apalagi berbicara, danternyata saya juga termasuk dalam orang-orang seperti itu.
Dewasa ini kehidupan bernegara kita diramaikan dengan berbagai warna, banyak masalah, banyak kejanggalan, banyak ketidak adilan dst, dst………….. masyarakatpun semakin berwarna dalam menanggapinya, demo dan protes seperti sarapan bila kita melihat berita setiap harinya, yang kebanyakan berujung pada peristiwa anarkhis, anrkhis dan anarkhis……… sehinga timbul pertanyaan; apakah ini yang dinamakan people power (buah demokrasi) dimana rakyatlah yang menjadi pemegang kekuasaan tertinggi.
Melihat fakta di lapangan, People power di Indonesia dapat diartikan sebagai masyarakat, rakyat, warga negara yang memiliki tenaga yang kuat, otot yang besar , tiap-tiap orang memiliki power yang mampu menghancurkan apa saja yang menjadi penghambat baginya. Sehingga power tersebut digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas anarkhis, dengan merusak, menghancurkan, membakar, sebagai bentuk ketidakpuasan.
Mungkin pendapat ini tidak berdasar, tapi kita juga tidak bisa menyangkal, kejadian di mana-mana telah membuktikan bahwa sesungguhnya bangsa kita bangsa pendendam.
Kita telah menyalahartikan makna people power yang sebenarnya……
Masyarakat masih menggunakan cara-cara tidak terpuji dalam menyampaikan aspirasi, menandakan belum kreatifnya bangsa ini, padahal masih banya cara lain yang lebih manusiawi, namun para petinggi bangsa inipun tidak memiliki cara yang kreatif untuk menampung atau memfasilitasi aspirasi masyarakat, tidak memiliki kepekaan terhadap gejolak-gejolak yang terjadi pada rakyat, sehingga kebijakan yang diambil seringkali tidak tepat, solusi yang diberikan tidak mampu mengatasi permasalahan.
Kita memang malas untuk belajar, malas untuk saling memahami, selalu merasa bisa, padahal yang diperlukan adalah bisa merasa.
Melihat fakta di lapangan, People power di Indonesia dapat diartikan sebagai masyarakat, rakyat, warga negara yang memiliki tenaga yang kuat, otot yang besar , tiap-tiap orang memiliki power yang mampu menghancurkan apa saja yang menjadi penghambat baginya. Sehingga power tersebut digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas anarkhis, dengan merusak, menghancurkan, membakar, sebagai bentuk ketidakpuasan.
Mungkin pendapat ini tidak berdasar, tapi kita juga tidak bisa menyangkal, kejadian di mana-mana telah membuktikan bahwa sesungguhnya bangsa kita bangsa pendendam.
Kita telah menyalahartikan makna people power yang sebenarnya……
Masyarakat masih menggunakan cara-cara tidak terpuji dalam menyampaikan aspirasi, menandakan belum kreatifnya bangsa ini, padahal masih banya cara lain yang lebih manusiawi, namun para petinggi bangsa inipun tidak memiliki cara yang kreatif untuk menampung atau memfasilitasi aspirasi masyarakat, tidak memiliki kepekaan terhadap gejolak-gejolak yang terjadi pada rakyat, sehingga kebijakan yang diambil seringkali tidak tepat, solusi yang diberikan tidak mampu mengatasi permasalahan.
Kita memang malas untuk belajar, malas untuk saling memahami, selalu merasa bisa, padahal yang diperlukan adalah bisa merasa.
Hidup yg ku ingin
M-H
Mungkin atau memang hanya aku yang tahu bahwa aku ingin kehidupan ini seperti apa yang terbayangkan di kartun-kartun dan film2 yang menjadi idolaku di masa-masa aku tidak memikirkan kehidupan nyata, dan ketika kini ku sadar, aku mencoba mewujudkannya, ingin menjadikannya nyata, dapat dirasakan dan terus berlangsung selama yang aku kehendaki.
Membayangkannya selalu membuat aku berusaha mempengaruhi pikiranku sendiri agar berusaha mewujudkan bayangan itu, yang secara otomatis membuatku bergairah setiap harinya. Seri-seri kartun yang selalu ditayangkanpun memanipulasi otakku bahwa kehidupan itu perlu dinikmati dalam durasi 24 jam, dengan aksi-aksi yang luar biasa dan tidak mudah dilupakan, sehingga mengontrol langkah kakiku ke arah pertualangan yang hanya aku dapat merasakannya.
Begitu juga setiap hari yang kulalui bisa menyamarkan aku menjadi siapa saja, pribadi yang berbeda, seperti aku sedang melihat diriku dari sebelah kanan yang sedang melihat kiri.
Dalam setiap karakter kehidupan aku mampu mempengaruhi pikiranku dengan cara membayangkan apa yang kuingini untuk merasakan berada di posisinya, bagiku memang merupakan hal yang luar biasa dapat merasakan hal tersebut (walaupun tidak selalu berhasil) kadang juga aku terjebak karena terlalu fokus dengan pemikiran-pemikiran rasional tentang fakta kehidupan yang sebenarnya,
yang katanya nyata adanya, sehingga bingung yang mana metaafora. akhirnya aku terjebak di antara keinginan, mimpi, cita-cita, hayalan, fakta, kondisi, keadaan, perasaan, dan dunia lain yang terasa sedikit aneh tapi lumayan menantang……………
Mungkin atau memang hanya aku yang tahu bahwa aku ingin kehidupan ini seperti apa yang terbayangkan di kartun-kartun dan film2 yang menjadi idolaku di masa-masa aku tidak memikirkan kehidupan nyata, dan ketika kini ku sadar, aku mencoba mewujudkannya, ingin menjadikannya nyata, dapat dirasakan dan terus berlangsung selama yang aku kehendaki.
Membayangkannya selalu membuat aku berusaha mempengaruhi pikiranku sendiri agar berusaha mewujudkan bayangan itu, yang secara otomatis membuatku bergairah setiap harinya. Seri-seri kartun yang selalu ditayangkanpun memanipulasi otakku bahwa kehidupan itu perlu dinikmati dalam durasi 24 jam, dengan aksi-aksi yang luar biasa dan tidak mudah dilupakan, sehingga mengontrol langkah kakiku ke arah pertualangan yang hanya aku dapat merasakannya.
Begitu juga setiap hari yang kulalui bisa menyamarkan aku menjadi siapa saja, pribadi yang berbeda, seperti aku sedang melihat diriku dari sebelah kanan yang sedang melihat kiri.
Dalam setiap karakter kehidupan aku mampu mempengaruhi pikiranku dengan cara membayangkan apa yang kuingini untuk merasakan berada di posisinya, bagiku memang merupakan hal yang luar biasa dapat merasakan hal tersebut (walaupun tidak selalu berhasil) kadang juga aku terjebak karena terlalu fokus dengan pemikiran-pemikiran rasional tentang fakta kehidupan yang sebenarnya,
yang katanya nyata adanya, sehingga bingung yang mana metaafora. akhirnya aku terjebak di antara keinginan, mimpi, cita-cita, hayalan, fakta, kondisi, keadaan, perasaan, dan dunia lain yang terasa sedikit aneh tapi lumayan menantang……………
Selasa, 01 Maret 2011
BERAKIT-RAKIT KE HULU
KATA ORANG BIJAK
OLEH: MEDIKA HERMAWAN
Memang benar kata orang bijak, awal yang pahit seringkali berujung manis…. Seperti kata pepatah yang juga masih dibilang oleh orang bijak, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian….. pepetah ini sangat akrab dengan manusia Indonesia dan familiar pada setiap tingkatan umur dari yang kecil, muda, dewasa sampai yang tua, mengapa demikian…???????
karena setiap orang dalam kondisi apapun selalu merasa kurang. kurang inilah, kurang itulah, sehingga dengan sepihak menyatakan dirinya berada dalam keadaan sulit (sakit) anggapan sulit ini tentunya ditetapkan dengan standar sendiri, dengan harapan dengan pepatah itu kesulitan yang didapat hari ini akan berubah menjadi kesenangan di kemudian hari.
Saat kecil sampai tua kebanyakan kita selalu mengungkapkan pepatah itu "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian" yang jadi pertanyaan, kapan kita menjadi bersenang-senang...????? kalau pada waktu kecil kita bersakit-sakit, remaja juga tetap bilang pepatah itu, bahkan sampai tua tetap bersakit-sakit, poin bersenang-senang yang menjadi harapan seakan tidak pernah terwujud saat orang-orang tetap menyebutkan pepatah itu, maksud kata kemudian tidak dijelaskan secara pasti kapan terjadi, apakah saat kita muda, atau saat tua sedangkan kita saat tuapun tetap menyebutkannya……
Ketidakpstian, itulah yang menjadi trendnya…
celakanya makna ketidakpastian itu yang paling disukai pada saat ini, sehingga seluruh komponen bangsa ini sealu menerapkannya, setiap tindak tanduk dibuat tidak pasti agar tidak terungkap kesalahannya.Pikirkan saja; mulai dari visi dan misi negara, mengarah kepada target yang tidak pasti dan tidak realistis, ditambah lagi kata-kata surga yang membumbuinya…. Dan saya rasa rata-rata, sebagian besar daerahpun menerapkan konsep yang seperti itu dalam visi-misinya…. Entah karena hal yang demikian easy listening, sehingga mudah membuai siapa saja yang mendengar, atau ketidakmampuan untuk menelaah bahwa perwujutannya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Dalam bidang olahraga, target yang hendak dicapai tidak jelas dan terukur, terkesan untung-untungan (saya rasa tidak perlu contoh, karena perlu banyak energi untuk menyajikannya). TITIK
OLEH: MEDIKA HERMAWAN
Memang benar kata orang bijak, awal yang pahit seringkali berujung manis…. Seperti kata pepatah yang juga masih dibilang oleh orang bijak, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian….. pepetah ini sangat akrab dengan manusia Indonesia dan familiar pada setiap tingkatan umur dari yang kecil, muda, dewasa sampai yang tua, mengapa demikian…???????
karena setiap orang dalam kondisi apapun selalu merasa kurang. kurang inilah, kurang itulah, sehingga dengan sepihak menyatakan dirinya berada dalam keadaan sulit (sakit) anggapan sulit ini tentunya ditetapkan dengan standar sendiri, dengan harapan dengan pepatah itu kesulitan yang didapat hari ini akan berubah menjadi kesenangan di kemudian hari.
Saat kecil sampai tua kebanyakan kita selalu mengungkapkan pepatah itu "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian" yang jadi pertanyaan, kapan kita menjadi bersenang-senang...????? kalau pada waktu kecil kita bersakit-sakit, remaja juga tetap bilang pepatah itu, bahkan sampai tua tetap bersakit-sakit, poin bersenang-senang yang menjadi harapan seakan tidak pernah terwujud saat orang-orang tetap menyebutkan pepatah itu, maksud kata kemudian tidak dijelaskan secara pasti kapan terjadi, apakah saat kita muda, atau saat tua sedangkan kita saat tuapun tetap menyebutkannya……
Ketidakpstian, itulah yang menjadi trendnya…
celakanya makna ketidakpastian itu yang paling disukai pada saat ini, sehingga seluruh komponen bangsa ini sealu menerapkannya, setiap tindak tanduk dibuat tidak pasti agar tidak terungkap kesalahannya.Pikirkan saja; mulai dari visi dan misi negara, mengarah kepada target yang tidak pasti dan tidak realistis, ditambah lagi kata-kata surga yang membumbuinya…. Dan saya rasa rata-rata, sebagian besar daerahpun menerapkan konsep yang seperti itu dalam visi-misinya…. Entah karena hal yang demikian easy listening, sehingga mudah membuai siapa saja yang mendengar, atau ketidakmampuan untuk menelaah bahwa perwujutannya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Dalam bidang olahraga, target yang hendak dicapai tidak jelas dan terukur, terkesan untung-untungan (saya rasa tidak perlu contoh, karena perlu banyak energi untuk menyajikannya). TITIK
Langganan:
Postingan (Atom)