Minggu, 13 Maret 2011

LUKA YANG MEMPERKAYA

Luka yang Memperkaya
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Hati terluka. Air mata menetes tanpa daya. Hidup terasa begitu sepi. Keluarga dan teman diam tersembunyi.
Itulah situasi batin orang-orang yang tersiksa. Hidup menggiring mereka ke ujung nestapa. Tak ada teman seperjalanan yang menguatkan. Yang ada adalah butir-butir kenangan akan pengkhianatan.
Seorang filsuf kontemporer terkemuka asal Slovenia, Slavoj Zizek, pernah menyatakan, bahwa hidup berasal dari katastrofi, atau bencana besar. Alam semesta bermula dari ledakan besar. Orang lahir ke dunia melalui penderitaan sang ibu. Cinta bukanlah gula kehidupan, namun justru sumber dari rasa sendu.
Maka orang perlu untuk melihat guncangan hidup sebagai bentuk kelahiran dari “yang lain”. Bahkan segala sesuatu yang di sekitar kita sekarang ini bermula dari sebuah bencana raksasa yang menimpa penguasa dunia sebelumnya, yakni dinosaurus. Maka guncangan bukanlah bagian dari kehidupan, melainkan justru kehidupan itu sendiri.
Situasi Batas
Manusia kerap kali terbentur situasi-situasi sulit dalam hidupnya. Situasi sulit ini menurut Karl Jasper, seorang filsuf Jerman, adalah situasi batas, termasuk di dalamnya adalah penderitaan, kematian, rasa bersalah, ketergantungan pada nasib, dan perjuangan di tengah bencana. Situasi batas ini membuat manusia sadar, betapa ia lemah dan tak berdaya. Situasi batas ini mengantarkan manusia pada kesadaran, bahwa Tuhan itu ada.
Dalam hidup kita dikepung oleh krisis tanpa henti. Kematian dari orang yang dicintai. Kehancuran bisnis yang dibangun di atas rencana dan mimpi. Hati yang terluka akibat pengkhianatan orang yang dikasihi. Sampai ditipu sahabat yang dipercaya.
Jasper mengajak kita menjalani semua ini dengan lapang dada. Krisis adalah situasi di mana manusia terbuka pada yang tak terbatas, atau Tuhan itu sendiri. Pada saat krisislah manusia menyadari, betapa ia bukan apa-apa. Krisis adalah pintu pencerahan dan penemuan kesejatian diri yang sesungguhnya.
Luka yang Memperkaya
Para pahlawan adalah mereka yang terluka. Medan perang menempa mereka. Luka tubuh adalah buktinya. Luka adalah simbol dari kepahlawanan yang perkasa.
Hal ini berlaku pula untuk luka mental. Kekecewaan dan penderitaan mental adalah simbol dari kepahlawanan jiwa. Orang perlu menyadari dan merawat luka itu dengan setia. Luka mental tidak boleh dilupakan, melainkan justru diterima dengan lapang dada.
Banyak orang takut akan lukanya. Lalu mereka tenggelam dalam hiburan semu, mulai dari alkohol, seks bebas, dan narkoba. Luka tidak jadi memperkaya, melainkan sesuatu yang berlalu tanpa makna. Buah dari semua itu adalah kedangkalan hidup di dunia.
Luka mental tidak pernah boleh dilupakan. Sayatan batin adalah simbol dari keperkasaan jiwa. Orang perlu melihatnya sebagai koleksi yang membanggakan. Penderitaan dan kekecewaan adalah piala-piala tanda keagungan jiwa.
Kesempatan
Luka adalah kesempatan. Krisis adalah peluang. Keduanya adalah peluang untuk menunjukkan, siapa kita sesungguhnya. Terlebih krisis adalah kesempatan untuk berbuat baik.
Kita seringkali melihat kekecewaan sebagai kerugian. Padahal kekecewaan adalah kesempatan untuk memaafkan. Kekecewaan adalah waktu yang tepat untuk berbuat baik. Kekecewaan adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan.
Ketika bencana alam terjadi, itu adalah kesempatan untuk menolong mereka yang kesulitan. Ketika terjadi pengkhianatan maka itu adalah kesempatan untuk belajar tentang kesetiaan. Ketika terjadi banyak kejahatan, maka itu adalah kesempatan untuk memberi cinta yang menyegarkan.
Krisis juga kesempatan untuk membuktikan diri. Dengan krisis orang ditempa situasi, dan menjadi dirinya yang sejati. Orang hanya perlu bertahan melaluinya, dan semua akan selesai pada akhirnya. Pada saat itu orang merasa puas, karena ia memetik buah-buah dari kesulitan hidupnya.
Banyak orang patah karena krisis. Mereka putus asa lalu bunuh diri. Mereka tidak bertahan di dalam badai. Mereka takluk oleh hidup yang memang tak selalu adil.
Sikap semacam itu tidak bisa disalahkan. Itu juga bagian dari pilihan. Namun sebetulnya itu tidak perlu terjadi. Orang bisa melihat kekecewaan dan penderitaan hidup sebagai kesempatan untuk membuktikan diri, maupun untuk sungguh berbuat baik pada yang membutuhkan.
Absurditas Hidup
Seorang filsuf dan sastrawan Prancis, Albert Camus, pernah menulis, bahwa satu-satunya penjelasan atas banyaknya penderitaan yang tidak beralasan di dunia adalah, bahwa hidup itu pada hakekatnya adalah absurditas. Orang tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka menderita. Orang juga tidak bisa menjelaskan, mengapa mereka yang tertimpa bencana. Hidup ini absurd karena tak pernah sepenuhnya terpahami.
Yang perlu dilakukan adalah menerima fakta absurditas itu sendiri, dan menjalaninya secara perlahan. Jika tidak orang akan terus terbentur, karena harapan tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Orang akan bermimpi dan kecewa, karena mimpi tetaplah mimpi, tanpa realitas. Rasa putus asa ada di depan mata, juga disertai kecewa dan tangis.
Kita sering melihat betapa orang patah akibat kekecewaan. Kita juga sering melihat, betapa orang hancur, karena ditekan situasi. Namun sebetulnya mereka tidak perlu hancur, jika belajar menerima fakta absurditas hidup dan diri mereka sendiri. Mereka hanya perlu tertawa melihat, betapa hidup telah mempermainkan mereka.
Kekecewaan, penderitaan, dan krisis bukanlah bumbu kehidupan, melainkan justru esensi dari kehidupan itu sendiri. Absurd memang tetapi itulah yang terjadi. Bahkan awal mula alam semesta adalah sebuah katastrofi maha dasyat yang banyak disebut sebagai Dentuman Agung (the Big Bang). Kita tidak boleh lari darinya. Kita perlu memeluknya, merengkuhnya, dan bahkan mentertawakan absurditas dari semua yang ada. Hanya dengan begitu kita tidak tergoda untuk bunuh diri. ***
Penulis
Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat Politik,
Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar