Rabu, 02 Maret 2011

Soeharto dan Yesus

Majalah Tempo, Soeharto dan Yesus
Oleh: Pdt Daniel Taruli Asi Harahap
http://rumametmet.com
Terus terang Tempo adalah satu-satunya media nasional yang melegakan hati saya di hari-hari terakhir sakit mantan presiden Soeharto sampai kepada kematiannya dan pemakamannya. Ketika seluruh media televisi tiba-tiba secara memualkan mendaulad Soeharto sebagai seorang “santo”, “aulia” atau “pahlawan suci tak bercela” hanya majalah Tempolah yang tetap menjaga dirinya kritis dan jernih memandang bekas penguasa digdaya Indonesia selama 32 (tiga puluh dua) tahun. Jauh sebelumnya, Tempo jugalah satu-satunya majalah yang serius melakukan investigasi melacak kekayaan Soeharto dan keluarganya. Tanpa harus mencemooh dan memaki-maki memakai bahasa vulgar, Tempo tetap pada pendiriannya bahwa Soeharto yang setelah mundur dari presiden menjadi manusia tua renta itu adalah figur yang penuh kontroversi di saat berkuasa, yang cenderung menganggap dirinya sebagai raja dengan restu ilahi yang kata-katanya bak sabda tak tersanggah, dan melakukan banyak kekerasan sekehendak
hatinya. Dari Tempo jugalah saya sering tahu hal-hal kecil tapi aneh di sekitar lingkaran kekuasaan yang menggelitik hati untuk berpikir dalam. Salah satu kejanggalan itu: walaupun para mantan pejabat dan tokoh seakan ber-koor meminta masyarakat memaafkan mantan presiden Soeharto namun anak-anak Soeharto sendiri rupanya sama sekali tidak mampu memaafkan Habibie dan Harmoko, yang terbukti dari penolakan kehadiran keduanya untuk menjenguk mantan bossnya. Padahal Habibie sudah jauh-jauh terbang dari Jerman.
Namun hari-hari ini Tempo dikecam habis-habisan oleh orang Kristen (tidak semua) atas covernya yang dianggap sensasional. Dan Tempo meminta maaf. Cover itu sendiri diakui oleh perancangnya diilhami oleh lukisan Leonardo Davinci “The Last Supper”, perjamuan terakhir Yesus bersama murid-muridNya sebelum Dia disalibkan. Namun tokoh-tokoh yang duduk di sekitar meja perjamuan itu adalah Soeharto, dan anak-anaknya (Tutut di kanan dan Sigit di kiri, dan Tomi sedang berbisik entah apa). Postur tubuh tokoh-tokohnya persis lukisan Last Supper. Saya sendiri mengaku ketika pertama kali melihat cover itu terperanjat dan
bertanya-tanya: apa hubungannya? Mengapa desainer itu melukiskan Soeharto seperti Yesus sedang makan Paskah terakhir sebagaimana lukisan Davinci itu?
Saya mengakui sebenarnya lukisan Last Supper itu adalah imajinasi Davinci sendiri (sebab Yesus dan murid-muridNya tidak terbiasa duduk di kursi memakai meja) yang memakai kerangka berpikir Eropah abad pertengahan. Wajah Yesus adalah wajah Yesus yang dibayangkan oleh sang pelukis. Kita semua tahu bahwa pada masa itu sama sekali belum ada kamera dan wajah Yesus baru “dilukis” sesudah beberapa abad kematianNya. Karena itu dari segi agama sebenarnya tidak ada penodaan atau pelecehan. Tapi tunggu dulu. Sebagian orang Kristen, terutama dari kalangan Katolik dan ortodoks memperlakukan lukisan tokoh-tokoh
Alkitab dan bapa-bapa gereja tidak sekadar lukisan atau dekorasi, tetapi bagian dari perlengkapan ibadah, bahkan ikon, benda suci, Kitab Suci dalam rupa atau gambar. Disinilah masalahnya. Tempo tentu bisa dianggap tidak sensitif terhadap keyakinan pemeluk agama Kristen khususnya Katolik yang meninggikan lukisan-lukisan agama itu. Namun bukan hanya umat Katolik yang merasa terusik. Lukisan Davinci telah lama merasuk ke dalam kehidupan umat Kristen secara keseluruhan. Lukisan itu begitu banyak dipasang di ruang tamu Kristen (bukan hanya Katolik) dan menjadi simbol kekristenan yang paling populer sesudah
salib. Apalagi lukisan itu merujuk kepada sakramen perjamuan kudus yang diamanatkan oleh Yesus. Pertanyaan di sini: mengapa Tempo menggunakan simbol keagamaan yang sangat penting ini untuk pemberitaannya tentang Soeharto setelah dia (Soeharto) pergi? Namun jangan gusar. Bukan Tempo yang pertama kali mengutak-atik lukisan Last Supper. Kalau tidak percaya: googling saja atau lacak saja di internet. Dengan mudah kita bertemu lukisan atau karikatur yang mengambil Last Supper sebagai inspirasinya. Sebagian inspiring dan sebagian lagi konyol.
Kebetulan saya bukan kritikus seni. Sebab itu saya mencoba memahami makna cover Tempo itu dengan logika saya sendiri. Terus terang, awalnya sulit sekali bagi saya memahami kenapa sang perancang cover menyamakan Soeharto dengan Yesus. Kedua tokoh ini menurut saya berbeda bagaikan langit dan bumi. Yesus seorang miskin papa dan tidak meninggalkan warisan sedikit pun bahkan tidak punya rumah. Soeharto kaya raya dan pernah disebut Forbes sebagai salah satu orang terkaya di dunia dan dituduh mendapatkan harta itu dengan tidak sah. Yesus tidak memiliki anak atau keturunan sementara Soeharto punya anak cucu
yang senantiasa disokong dan diistimewakannya berbisnis selama dia berkuasa. Yesus tidak pernah menjadi penguasa politik dan militer. Soeharto adalah presiden 32 tahun dan jenderal besar. Yesus tidak pernah melakukan kekerasan. Soeharto (sesuai pengakuannya sendiri) menganggap kekerasan itu perlu. Lantas apa hubungan antara Yesus dan Soeharto kecuali sama-sama anak desa? Mengapa si perancang melukis Soeharto bagaikan Yesus di hari terakhir kehidupannya? Saya tidak yakin Tempo bodoh atau lugu. Juga saya tidak yakin Tempo ingin menghina agama Kristen yang saya anut sebab selama bertahun-tahun membaca Tempo saya menangkap komitmen Tempo kepada pluralitas agama dan budaya. (Namun saya percaya Tempo kadang butuh sensasi menaikkan oplah). Lantas selain sensasi dalam rangka menaikkan tiras apa pesan yang mau disampaikan majalah kesukaan saya ini?
Setelah membaca seksama keseluruhan laporan utama majalah Tempo tentang sepak-terjang Soeharto dan anak-anak serta cucunya, saya berkesimpulan Tempo sedang menyindir. Ya itu gaya khas Tempo (juga kebiasaan orang Timur baik-baik). Dia menyindir bangsa ini, orang-orang Kristen dan beragama lainnya, dan mungkin juga menyindir media-media lain yang tiba-tiba mengangkat Soeharto menjadi orang suci tanpa cela (dengan melupakan begitu saja pembantaian terhadap orang PKI, korban operasi militer di Aceh dan Papua, kerusuhan Mei yang menyengsarakan puluhan ribu warga Tionghoa, kebangkrutan ekonomi dll).
Sindiran itu kena. Saya merasa ditohok, sebab saya tahu betul ada banyak sekali orang Kristen (juga orang beragama lainnya) yang diam-diam atau terang-terangan memuja Soeharto seperti seorang “tuan dari segala tuan” dan “raja dari segala raja” yang harus ditaati mutlak atau tanpa syarat. Ya banyak orang di saat Soeharto berkuasa dan apalagi setelah matinya menganggap dia bagaikan “juruselamat” bangsa ini. Dengan memparodikan lukisan Davinci, Tempo sedang membuat Yesus (secara tersirat tokoh-tokoh luhur penganjur iman lainnya) sebagai cermin bagi Soeharto dan semua orang berkuasa dan berambisi berkuasa mutlak. Alih-alih menghina Yesus, majalah yang didirikan oleh Gunawan Mohammad itu justru meninggikan Yesus yang sepanjang hidupNya
memilih kesederhanaan, kebenaran, cara-cara tanpa kekerasan, dan jauh dari kekuasaan duniawi. Sebaliknya tentang Soeharto tahu sendirilah. Sebab itu menghadapi sindiran semacam itu saya dan kita seharusnya senyum (walau muka memerah) dan bukannya marah-marah. Apalagi tanpa membaca laporan yang ada dibalik cover majalah itu.
Sebab itu saya sama sekali tidak tersinggung dengan cover Tempo yang mengambil inspirasi dari lukisan terkenal Leonardo Davinci. Malah saya bersyukur. Cover Tempo itu dan terutama laporan di dalamnya bukan saja memberi saya informasi “enak dibaca dan perlu” tentang Soeharto, tetapi juga mendorong saya merenung ulang tentang apa sebenarnya yang disebut menjadi kristen atau pengikut Yesus di Indonesia yang centang-perenang ini. Yaitu: menjadikan hidup Yesus sebagai teladan atau acuan. Silahkan catat: inilah sikap hidup Yesus yang harus juga ada pada orang-orang yang mengatakan diri sebagai pengikutNya: mengambil resiko mengatakan yang benar, tidak mau menggunakan kekerasan, dan suka membela orang miskin dan tersingkirkan. Jujur,
sedikit-banyak sikap itu saya temukan secara konsisten pada orang-orang Tempo. Namun saya mau tanya terutama kepada kawan-kawan saya Kristen: apakah sikap hidup Yesus itu juga ada pada Anda yang hari-hari ini merasa imannya terusik dan tersinggung. Jika tidak, diamlah [.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar